TINJAUAN TENTANG RITUAL MAHAYANA
A.
Pengertian Ritual dan Mahayana
1.
Pengertian Ritual
Dalam kamus besar bahasa Indonesia ritual diartikan
berkenaan dengan ritus (tata cara, upacara keagamaan), tindakan seremonial
(Kamus besar bahasa Indonesia, 2008:1178)
Menurut Sukhawardhana bahwa dalam
setiap agama ada ritual keagamaan yang dilakukan dengan berbagai tujuan. Di
dalam agama Buddha yang dimaksud dengan ritual buddhis adalah semua kegiatan
yang dilakukan dan
berhubungan dengan peningkatan keyakinan terhadap agama Buddha. Ritual Buddhis meliputi puja bakti
atau kebaktian yang biasa dilakukan setiap hari,
setiap minggu atau upacara-upacara tertentu seperti
pelimpahan jasa, berulang-ulang mengucapkan nama Buddha dengan sepenuh hati, pradaksina,
dan sebagainya.
Menurut pendapat
orang islam ritual sembahyang adalah tindakan keagamaan yang bertujuan untuk
memungkinkan koneksi dengan Tuhan, dewa melalui, percakapan, permintaan,
pengakuan, atau tindakan pujian kepada Tuhan. Menurut keyakinan agama yang
berbeda, sembahyang bisa dilakukan individu atau masyarakat dan dilakukan di
depan umum atau secara pribadi, dan melibatkan penggunaan kata-kata atau musik.
Ketika bahasa yang digunakan, doa bisa berbentuk sebuah nyanyian, mantra,
pernyataan resmi dari keyakinan, atau ekspresi spontan dari orang yang
melakukan ritual sembahyang. Menurut kepercayaan, berbagai bentuk sembahyang
seperti dalam permohonan atau ucapan syukur, penyembahan, pujian dan
sebagainya, tergantung pada keyakinan doa, ibadah yang ditujukan kepada dewa,
roh, atau leluhur, dengan tujuan yang berbeda, dan orang-orang berdoa untuk
keuntungan mereka sendiri atau untuk kebaikan orang lain, atau dengan mencapai
tujuan tertentu.
Dalam Wikipedia Sembahyang, ritual sembahyang adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan
dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja,
dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Ritual Sembahyang dapat dilakukan secara bersama-sama atau
perseorangan. Dalam beberapa tradisi agama, sembahyang dapat melibatkan
nyanyian berupa hymne, tarian, pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau
disenandungkan, pernyataan formal kredo, atau ucapan spontan dari orang yang
berdo’a.
Ritual
juga sering disebut dengan istilah puja bakti atau kebaktian. Dalam wacana
Buddha Dharma dijelaskan tentang upacara ritual, upacara adalah rangkaian
tindakan terorganisisr dengan tatanan atau atauran tertentu yang mengedepankan
berbagai tanda atau simbol kebesaran yang menggunakan cara-cara ekspresif dari
hubungan sosial, dengan suatu tujuan atau peristiwa penting. Sedangkan ritual
adalah upacara keagamaan yang mengekspresikan iman berupa pemujaan dan kebaktian
atau ibadah, dengan menggunakan sarana-sarana simbolik yang bersifat mistis.
(Krishnanda Wijaya Mukti, 2003:73).
Ritual adalah teknik (cara, metode)
membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci ritual menciptakan dan
memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau
berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti
"amin" dan sebagainya. Ritual pertamanya sering bersifat sosial,
kemudian menjadi ekonomis, lalu berkembang menjadi tatacara suci agama. Salah satu ritual yang paling kuno adalah ziarah. Kemudian upacara penyucian,
pembersihan. Bentuk lebih modern adalah
doa, bacaan bersahutan.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai ritual sembahyang di atas dapat penulis simpulkan
bahwa, yang dimaksud dengan ritual adalah adat yang menjadi kebiasaan
seperti upacara keagamaan yang mengekspresikan iman berupa pemujaan dan
kebhaktian atau ibadah, dengan menggunakan sarana-sarana simbolik yang
menyangkut semua kegiatan dan berhubungan dengan peningkatan keyakinan
terhadap agama dan mempunyai tindakan keagamaan yang
bertujuan untuk memungkinkan koneksi dengan Tuhan atau dewa melalui percakapan,
permintaan, pengakuan, atau tindakan pujian kepada Tuhan. Juga suatu bentuk
kegiatan keagamaan yang
menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh
atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja dan
untuk kepentingan semua orang.
Dalam melakukan ritual pasti memiliki dampak negatif dan
dampak positifnya yaitu:
a.
Dampak Negatif
Ritual
cenderung untuk menjadi pengganti agama. Ini bahaya untuk agama yang cenderung
berpusat pada ritual. Orang hanya mengikuti ritual tanpa tahu dan menghayati
keimanan juga perkembangan kerohanian dengan baik. Ritual menjadi kebiasaan,
menjadi agama tersendiri yang
dapat menghambat perkembangan
kerohanian. Sulit mengembangkan kerohanian dan perbaikan doktrin bila agama
dipenuhi oleh ritual dan dikuasai para imam ritual. Menghambat
perkembangan ilmu pengetahuan
juga bisa berpotensi menolak
pembaruan dan kebenaran. Dampak negatif yang paling berbahaya ketika suatu ritual agama dijadikan alat untuk berperang, biasanya ini dilakukan oleh mereka yang hanya sekedar mempelajari agama secara formal saja tidak mendalami secara detail. Oleh sebab itu beragama bukan untuk berperang mengatasnamakan agama, melainkan berperang melawan perbuatan buruk yang ada didalam diri masing-masing.
b.
Dampak
Positif
Ritual dapat mempengaruhi stabilisasi peradaban. Misalnya di bangsa-bangsa yang memeluk agama terlihat lebih stabil dengan adanya keseragaman ritual dan dapat meningkatankan jenis budaya tertentu juga dapat membantu pengendalian diri manusia.
2.
Pengertian Mahayana
Dalam Wikipedia Mahayana pengertian Mahayana yaitu berasal dari bahasa Sanskerta, Mahāyāna yang secara harafiah berarti
Kendaraan Besar adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi
dan ajaran Sang
Buddha.
Menurut Bhiksu Dutavira pengertian Mahayana adalah Maha: berarti besar,
luas, agung, dan Yana: berarti kendaraan atau kereta. Mahayana
berarti kendaraan besar yang mengangkut pengemudi bersama penumpangnya mencapai
suatu tempat tujuan yang sama. Ajaran Buddha membimbing penganut-Nya seperti
sebuah kendaraan besar yang mengangkut pengemudinya bersama-sama para
penumpangnya mencapai tempat tujuan yang sama yaitu Nirvana.
Menururt
pendapat Jo Priatana selain pengertian Mahayana juga mempunyai ciri-ciri yaitu:
(1) mempergunakan bahasa sansekerta; lebih bersifat religi, metafisis dan
filosofi; (2) pencapaian nirvana melalui pengetauan sempurna; (3) setiap
makhluk memiliki sifat kebuddhaan yang berasal dari Tathagata-Garbha; (4)
Dukkha yang merupan suatu ciri dari kehidupan hanyalah bersifat maya, ilusi
atau suatu konstruksi kessadaran yang keliru; (5) yang absolut dinyatalkan
bukan semata-mata bersifat transenden, atau terpissah sama sekali dari realitas
dunia, melainkan juga bersifat imanen, atau bersemayam dalam realitasdunia dan
terungkap dalam dnuia fenomena; (6) pembebasan tidak hanya tercapai dengan
usaha sendiri melainkan juga melalui bantuan atau kekuatan lainya.
Berdasarkan
ulasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa, pengertian Mahayana adalah Kendaraan besar yang mengangkut banyak orang
menuju suatu tempat yang sama. Menolong manusia untuk bebas dari penderitaan
dan mecapai kebahagiaan.
B.
Jenis-jenis Ritual Mahayana
Di
Dalam sejarah Mahayana diketemukan Upaya
Kausalya untuk menjalankan ajaran Buddha, dapat diterapkan oleh umat awam
yakni melakukan ritual sembahyang kepada para Buddha dan Bodhisattva. Karena
ritual merupakan cara yang paling mudah diterima banyak umat dalam
mempraktikkan ajaran Buddha.
Ritual upacara agama Buddha tradisi Mahayana
diantaranya terdiri atas:
1.
Ritual Hari
Waisak dengan Memandikan Patung Sidharta Kecil
Waisak
merupakan hari besar untuk mengenang kembali tiga peristiwa penting dalam
perjalanan hidup Buddha yaitu: (1) Memperingati hari kelahiran seorang
Mahabodhisattva yang terlahir dari surga Tusita dan dilahirkan dalam keluarga
Suku Sakya di kerajaan Kapilavastu, (2) Memperingati hari pencapaian sempurna
seorang manusia menjadi Buddha melalui proses pemusatan semua kekotoran batin
dan memahami hakekat kehidupan, (3) Memperingati hari Maha Parinibbana Buddha
di bawah dua pohon sala kembar.
Menurut
Bhikkshu Dutavira waisak sangat bermakna jika umat Buddha bersedia merenungkan
kembali ajaran Buddha. Menjadikan hari raya waisak sebagai sarana untuk introspeksi
diri, melihat segala perbuatan sendiri, mengembangkan perbuatan baik, dan
mengurangi perbuatan yang tercela bahkan dihentikan. Hingga semangat waisak
bisa membawa perubahan terhadap semua aspek diri dan kehidupan manusia.
Dalam buku yang
sama juga dijelaskan oleh Bhikkhu Pabhakaro Thera bahwa tiga peristiwa itu
memberikan gambaran kepada umat Buddha bahwa begitulah proses kehidupan. Dalam
kehidupan manusia mengalami berbagai macam hal seperti kegagalan, ketegangan
mental, keputusasaan, kejenuhan dan lain sebagainya yang memaksa manusia untuk
terbebas dari kondisi tersebut dan menggantinya dengan konsep-konsep
kebahagiaan dengan ukuran yang berbeda-beda. Keindahan jasmani, pemuasan nafsu,
pencarian tempat-tempat hiburan, penumpukan materi dan lain sebagainya yang
tidak dapat disebutkan keseluruhan menjadi obsesi umat manusia dalam beruaha
mencari kebahagiaanya.
Upacara hari raya
waisak umat Buddha Mahayana berbeda dengan umat Buddha yang lainya seperti memandikan
rupang Buddha waktu lahir menggunakan air yang dicampur dengan madu dan bunga. Pemandian ini bertujuan menghilangkan kotoran air tuban
(kotoran bawaan manusia). Usai Buddha kecil dimandikan, Dewa Bumi menyambutnya
dengan melapisi kaki Buddha dengan bunga teratai. Bunga teratai tersebut
diharapkan dapat mencegah kaki Buddha kecil dari kotoran bumi.
Adapun makna filosofis dari semua itu adalah manusia harus
bersahabat dengan alam, Manusia seharusnya pergi ke tempat yang baik agar jangan
kotor oleh lingkungan. Pemandian Buddha rupang
memiliki makna menyatukan diri dalam kesucian Buddha dengan harapan semoga
kotoran batin lenyap dari diri seseorang,
2.
Ritual Hari Bhaisajyaguru Buddha
Buddha Penyembuhan adalah salah satu
dari ketiga Buddha utama dalam objek pemujaan Mahayana dan merupakan seorang
Buddha dari masa lalu. Menurut Maha Bhikkshu Dutavita, Selain
menyembuhkan penyakit, melindungi dari bencana seperti kelaparan, kekeringan
dan wabah, memberikan panjang umur dan membantu yang meninggal. Buddha dikenal
telah memberikan berbagai manfaat duniawi kepada mereka yang bersujud
kepada-Nya. Di dalam Vihara Buddha, rupang-Nya bersanding dengan Buddha Sakyamuni dan Buddha
Amitabha sebagai tiga serangkai (Sakyamuni di tengah, Bhaisajya di sebelah
kanan-Nya dan Amitabha di sebelah kiri-Nya). Bila digambarkan sendiri, Beliau memegang simbol-Nya (mangkok berisi
obat atau pagoda) dengan tangan kiri-Nya dan biasanya diikuti oleh kedua
siswa-Nya yaitu Bodhisattva Cahaya Surya dan Bodhisattva Cahaya Rembulan,
3.
Ritual Ulambana
Pada bulan 7 perhitungan di Vihara-vihara
Agama Buddha Mahayana selalu diadakan upacara perayaan ulambana, yang dikenal
dengan istilah sembahyang Cioko (Hok Kian), Cautu (Mandarin),
atau yang dikenal juga dengan istilah sembahyang rebutan bagi kaum peranakan.
Di
dalam Khuddakapatha mengenai penghormatan terhadap para mahkluk
dijelaskan sebagai berikut:
“Di luar dinding mereka berdiri dan menunggu,
juga di perempatan serta persimpangan jalan, kembali ke rumah mereka yang
dahulu, mereka menunggu di samping tiang gerbang... Biarlah ini untuk sanak
saudaraku. Semoga mereka berbahagia. Makhluk halus dari sanak saudara yang
telah meninggal yang datang dan berkumpl di sana dengan senang hati akan
memberikan berkah atas makanan dan minuman yang lezat ini. Semoga sanak saudara
kita berumur pa//njang, oleh karena merekalah kita memperoleh semua ini”
Ritual
upacara ulambana merupakan bentuk pertolongan kepada leluhur seperti sabda
Buddha kepada Maha Mogalana mengenai ibundanya yang terlahir menjadi setan
kelaparan sebagai berikut:
“Pada saat itu kamu bisa mengambil
kesempatan untuk mengadakan suatu upacara berdana makanan kepada para orang
suci, yakni upacara ulambana namanya.
Dan gunanya khusus untuk menyelamatkan orangtua si pemuja baik mereka yang
masih hidup maupun yang telah meninggal atau yang sedang tertimpa malapetaka.
Demikian pula untuk orang tua sebanyak tujuh turunan yang hidup pada masa silam
dan berada di alam semesta, dimana mereka belum mendapat kesempatan untuk
membebaskan dirinya, juga dapat diselamatkan”.
Pemujaan
terhadap para makhluk suci merupakan perbuatan kebajikan. ritual upacara
ulambana adalah bukti bahwa setelah manusia meninggal dunia masih ada kehidupan
selanjutnya. Berbakti kepada orang tua tidak harus dilakukan semasa masih hidup,
tetapi setelah mati pun bisa dilakukan yaitu pada waktu upacara ulambana.
Upacara Ulambana biasanya
diadakan mulai tanggal 15 bulan 7 sistem penanggalan lunar sampai akhir bulan 7
tersebut. Puncak penutupan upacara jatuh pada tanggal 29 atau 30 bulan ke 7. Dalam
melaksanakan hari ulambana tentu mempunyai makna yaitu:
a.
Membalas budi kepada almarhum
atau almarhumah.
b.
Memberi sedekah, memberi makan,
dan membalas budi kepada orang tua serta leluhur
yang telah meninggal dunia.
c.
Menjalankan cinta kasih dan kasihsayang Buddha untuk menolong para makhluk.
d.
Mengundang arya sangha atau para Suhu untuk
membacakan kitab suci pengampunan dosa dan ayat-ayat kitab suci agar semua
makhluk yang berjodoh dapat tumimbal lahir di alam yang lebih
e.
Memberikan dana puja.
f.
Memberikan sedekah kepada fakir miskin.
Oleh
karena semangat dari Ulambana adalah menolong para makhluk yang sengsara,maka dikemudian hari oleh para sesepuh Bhiksu Sangha Mahayana
dikembangkan dengan menganjurkan para umat yang mampu untuk memberikan sedekah
(Dana paramita) kepada fakir miskin, sehingga,sampai saat sekarang terlihatlah saat tiba bulan 7 para umat
menyisihkan uangnya untuk memberikan sumbangan beras, sandang pangan lainnya
yang kemudian disalurkan oleh para pengurus vihara kepada fakir miskin dan anak
yatim piatu.
4. Ritual Hari Uposatha
Hari Uposatha adalah hari
suci umat Buddha seluruh dunia, mereka diwajibkan mempraktikkan sila,
melaksanakan meditasi, mendengarkan khotbah Dharma dan melakukan macam-macam
kegiatan keagamaan, yang akan memberikan berkah kebahagiaan dan meningkatkan
rasa bakti. Kata Uposatha sebagai petunjuk permulaan dari empat tahap bulan
terbit dan tenggelam.
Sejak zaman dulu umat
Buddha memanfaatkan hari-hari uposatha itu untuk macam-macam upacara keagamaan.
Pada tanggal 1 dan 15 tengah bulan, mereka mengadakan kegiatan bernuansa agama,
dan anggota Sangha membabarkan Dharma. Bhikkhu Sangha juga memanfaatkan uposatha
untuk membacakan peraturan kebhikuan.
Menurut Dharmasagaro Mahastavira,
Waktu kebaktian atau sembahyang biasanya dilakukan pada hari uposatha, yakni
pada tanggal 1 dan tanggal 15. Ritual pada hari uposatha dilakukan sejak masa
Buddha masih hidup. Selain tanggal tersebut di atas, tanggal 8, 22, 23 atau 30
meurut lunar kalender juga merupakan hari uposatha, terutama bagi mereka yang
menjalankan Asthanga Sila. Pada hari
uposatha umat biasanya pantang makan makanan yang beraasal dar makhluk hidup.
Di dalam Sadharmapundarika
Sutra mengenai uposatha tertuliskan bahwa:
“jika ada manusia yang menerima, memegang dan melafal nama Kwan Se In Po Shat di dalam waktu-waktu
tertentu, menghormat bernamaskara dan memberikan puja, dua perbuatan ini dapat
menambah keberuntungan di dalam kehidupan manusia. Dengan kesujudan yang dilakukanya
ini, akan mendapat ratusan tahun, berkali-kali tumimbal lahir dapat
menghasilkan pahala yang tiada batasnya....”
Menurut pendapat Gimin
Edi Susanto, pada hari Uposatha umat Buddha melaksanakan upacara dengan menjalankan
delapan sila satu hari yaitu: (1) tidak melakukan pembunuhan, (2) menghindari
pencurian, (3) tidak melakukan hubungan sek, (4) tidak berdusta, (5)
menghindari perbuatan minum-minuman keras, 6 tidak makan setelah tengah hari, (7)
tidak menari, menyanyi, dan tidak mendengarkan musik, (8) tidak menggunakan
perhiasan mewah.
5.
Ritual Ulang Tahun Dewi Kwan Im
Kelahiran Dewi Kwan Im jatuh pada hari she
jit, 18-18 ji-gwee. Perayaan
dilaksanakan untuk menyambut hari ulang tahun Dewi Kwan Im. Inti perayaan dilakukan dengan pembacaan
parita-parita (doa), dipimpin oleh para bhiksu atau romo. Pada
rangkaian pembacaan Sutra Mantra juga dimohonkan doa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, agar bangsa dan negara selalu berada dalam kesejahtaraan, aman, dan damai.
Berbagai jenis sesaji telah dipersiapkan di atas
altar persembahan, seperti buah-buahan, roti, nasi, gula, teh dan sebagainya.
Dewi Kwan Im
dilahirkan pada jaman Kerajaan Ciu Cian
Kok pada tahun 403-221 SM. Dalam
kepercayaan Buddhisme yang berkembang pesat di Cina, diyakini bahwa segala
permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan mengabulkan permintaan
tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan
dengan bahaya, Sehingga dalam kurun ribuan tahun, pengabdian moral dari Dewi Kwan Im dikenal gaib berporos empat
jalan kebenaran Yakni; pengembangan kebajikan, pengembangan toleransi dan
saling hormat menghormati, pengendalian batin dan mawas diri, serta
menghindarkan dari marabahaya.
6.
Ritual Upacara Paramita Kebijaksanaan (Cin Kang Cing)
Paramita kebijaksanaan adalah khotbah Buddha kepada Subhuti mengenai
kebijaksanaan luar biasa yang didapat dari membaca, melafalkan, menyalin, dan
menjelaskan isinya. Ritual ini dilakukan setia satu minggu satu kali, oleh umat
Buddha Mahayana pada khususnya. Di dalam Vajracchedika
Prajnaparamita Sutra tertuliskan bahwa:
“Subhuti, seorang laki-laki atau
wanita bajik, di waktu pagi boleh mengorbankan tubuhnya untuk perbuatan amal bakti
berkali-kali sebanyak butir-butir pasir di sungai gangga, dan kemudian di waktu
siang melakukan hal yang sama dengan demikian selama jutaan kalpa yang tak
terhitung. Tetapi jika seseorang lainya mendengar sutra ini dan mempercayainya
dengan sepenuh hati, maka pahalanya akan melampaui orang yang pertama”.
Buddha mengajarkan untuk selalu berbuat baik dalam segala bentuk, agara
dalam kehidupan berikutnya dapat terlahir di alam yang lebih bahagia. Mengulang
sutra-sutra Buddha merupakan berkah dan akan mendapatkan pahala sesuai dengan
amal kebajikanya.
7.
Ritual Penyesalan dan Pertobatan
Kehidupan manusia yang semakin ditentukan oleh teknologi ini membuat
moral semakin merosot dan banyak perbuatan buruk yang dilakukan. Mahayana
mempunyai jalan tengah dalam menghadapi moral manusia yang semakin merosot ini
yaitu dengan penyesalan dan pertobatan seperti dalam Ikrar Samanthabadra yang
keempat yaitu sebagai berikut:
“... Sang Bodhisattva merenungkan, semenjak
kalpa yang tek berawal di masa lalu, aku telah menciptakan segala karma buruk
yang tak terhitung dan tak terhingga banyaknya melalui badan, mulut, dan
pikiranku, yang disebabkan leh keserakahan, kebencian, dan keidaktahuan. Jika
karma buruk ini mempunyai isi dan wujud, semua ruang angkasa tidak dapat
memuatnya. Aku sekarang memurnikan ke-3 karma ini sama sekali, dan dihadapan
persamuan semua Buddha dan Bodhisattva, diseluruh alam Dharma di tanah yang
banyaknya bagaikan titik debu, dengan sungguh-sungguha aku menyesal dan
bertobat atas kesalahanku dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Aku akan
berdiam di dalam segala pahala dan kebajikan dari mempertahankan sila murni".
Menurut Bhikkshu Dutavira semua karma buruk yang diperbuat oleh si
pembuat karma yang berasal dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan) yang dilakukan dengan
badan jasmani, kata-kata, dan pikiran semua harus menyesali dan bertekat untuk
bertobat, di hadapan Buddha, di hadapan Bodhisattva menyatakan penyesalan dan
bertobat.
Bodhisattva memberikan contoh kepada
manusia untuk menyesal dan bertobat atas perbuatan buruk yang sudah dilakukan,
baik di kehidupan masa lampau maupun kehidupan sekarang, berjanji tidak akan
mengulangi perbuatan buruk lagi.
Berdasarkan beberapa pendapat
di atas mengenai jenis-jenis ritual yaitu dalam setiap ritual upacara mempunyai
cara, dan waktu yang berbeda-beda, dalam setiap cara yang dilakukan tentu
menggunakan objek yang berbeda atau sarana sebagai simbol keluhuran-Nya.
Banyakya Sutra atau Mantra dalam Mahayana juga mempunyai makna dan cara baca yang
berbeda pula.
Dari jenis-jenis ritual
di atas, diharapkan para umat Buddha mampu mengikuti dan melaksanakan ritual
dengan ketulusan hati dan juga mempunyai pengertian yang benar. Pengertian atau
pandangan benar sangat penting dalam ritual Mahayana, karena manusia akan
menjalankan ritual dengan penuh perhatian dalam setiap ritual-ritual tertentu
di atas.
C. Sarana dalam Ritual Mahayana
Dalam
melakukan ritual atau upacara dalam Mahayana mempunyai beberapa persembahan
sebagai berikut: (1) Dupa dipersembahkan kepada Buddha dan Bodhisattva sebagai
pernyataan sifat ketulusan, kesucian, kebesaran Buddha dan Bodhisattva yang
membimbing umat ke arah kemajuan, ketentraman dan kebijaksanaan. Dupa juga
melambangkan simbol keharuman nama seseorang; (2) Bunga sebagai lambang dari
ketidakkekalan kehidupan yang selau berubah, Tumbuh, mekar, layu dan lenyap
begitu juga dengan kehidupan ini, selalu muncul berlangung dan padam; (3) Lilin
atau penerangan lampu dipersembahkan di hadapan Buddha dan dibacakan mantra dan
sutra oleh Arya Sangha atau umat Buddha, yang melambangkan dari cahaya atau penerangan batin yang akan
melenyapkan kegelapan batin dan mengusir ketidaktahuan; (4) Air putih
melambangkan kerendahan hati. Dikatakan
demikian karena air selalu mencari tempat yang lebih rendah; (5) Buah-buahan
segar yang dipersembahkan merupakan tekad mengabdi diri kepada semua makhluk
dan membagi hasil pahala kepada orang lain; (6) Daun teh melambangkan kekuatan
pribadi untuk menghadapi gangguan-gangguan luar yang jahat, dan menimbulkan
getaran suci atau menambah getaran yang baik di altar; (7) Mustika merupakan
pernyataan kebenaran sunyata tiada duanya yaitu Buddha Dhrma; (8) Mutiara dari
dalam lautan merupakan lambang penerangan yang abadi dan merupakan ajaran
Buddha tiada duanya; (9) Pakaian yang diberikan di hadapan Buddha dan
Bodhisattva mempunyai simbol perlindungan dari ajaran Buddha, dapat juga
diartikan yang dipuja akan memberikan perlindungan kepadanya.
Dari pendapat di atas dapat
penulis simpulkan bahwa sarana ritual merupakan penghayatan
ajaran Buddha dan menghormati orang yang telah menunjukan jalan untuk bebas
dari samsara maka yang harus dimulai dari menghormat dan sembahyang, memuji
kemuliaan Buddha, bertekad memperoleh kegembiraan hidup, instropeksi diri dan
samadhi. Di dalam melaksanakan ajaran Buddha dan membagi keberuntungan kepada
semua makhluk dan berbuat baik membagikan kebahagiaan kita kepada makhluk
lainnya.
D. Alat-alat dalam Ritual Mahayana
Dalam
pelaksanaan ritual Mahayana tentu mempunyai alat-alat yang mayoritas umat
Buddha kurang memahami kegunaanya, alat-alat juga tidak kalah pentingnya dalam
pelaksanaan ritual, karena itu merupakan salah satu bagian dari ritual, alat
ritual itu berupa: (1)Tambur adalah sebagai alat dalam memimpin kebaktian yang
berfungsi untuk menentukan cepat atau lambatnya pujian dan dapat membangkitkan
semangat orang dalam memuliakan nama Buddha atau Bodhisattva; (2) Gong
digunakan sebagai aba-aba dan digunakan sebagai pembangkit semangat orang yang
sedang membacakan Sutra atau Mantra; (3) Im Keng adalah alat yang digunakan
sebagai aba-aba untuk wensin dan namaskara juga untuk membangungkan orang yang
sedang meditasi, karena bunyi Im Keng yang jernih dapat mempengaruhi syaraf
manusia; (4) Muk Ie merupakan alat untuk membaca mantra dan sutra dan mempunyai maksud tersendiri
yaitu menyuruh umat agar membaca dalam bentuk meditasi mengarahkan dan melatih pikiran. Mu Ie juga mempunyai bentuk dan
makna sendiri yaitu berbentuk kepala ikan yang mempunyai makna untuk
mengingatkan manusia, bahwa pikiran tidak pernah diam atau berhenti bagaikan
ikan yang tidak pernah diam; (5) Tan Ce dan He Ce, kedua alat ini berfungsi
sebagai pelengkap dalam ritual, karena dipercaya bahwa setiap bunyi yang
dihasilkan oleh semua alat-alat ritual ini dapat menimbulkan getaran ke alam
gaib. Tan Ce mempunyai filsafat manusia harus melihat dirinya sendiri dan
memperbaiki setiap kekurangan yang dilakukan baik secara sengaja maupun tidak
sengaja. He Ce mempunyai filsafat yaitu manusia harus selalu akur agar
terciptanya atau kesatuan yang harmonis; (6) Bel biasanya alat ini digunakan
oleh para Bhiksu dalam ritual keagamaan atau di dalam kebaktian. Bel bisa
berfungsi untuk menggantikan gong, im keng, dan mu ie.
Dari pendapat
di atas dapat penulis rangkum yaitu alat-alat ritual Mahayana sebagai
pembangkit semangat dan melatih konsentrasi untuk meningkatkan perhatian
terhadap pikiran. Alat-alat dalam ritual juga mempengaruhi kesakralan dalam
ritual jika menggunakanya penuh dengan konsentrasi dan perhatian.
E.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi Ritual Mahayana
1. Keyakinan (sadha)
Mempunyai keyakinan
terhadap Triratna berarti berlindung terhadap Buddha, Dharma dan Sangha,
seperti yang terdapat dalam Itivuttaka yaitu:
... “mereka yang mempunyai keyakinan terhadap Sang Buddha
berarti memiliki keyakinan terhadap yang tertinggi, dan bagi mereka yang
memiliki keyainan terhadap yang tertinggi, hasilnya pun terbaik...
...mereka yang mempunyai keyakinan terhadap Dharma tentang ketidakmelekatan
berarti memiliki keyainan terhadap yang tertinggi...
...mereka yang memiliki keyakinan terhadap Sangha berarti
memiliki keyakinan yang tertinggi”.
Keyakinan adalah faktor
yang penting dalam ritual, karena tanpa adanya keyakinan kemungkinan besar manusia kurang melakukan
ritual Mahayana. Keyakinan yang kuat terhadap Mahayana adalah bukti dari
pemahaman yang benar. Buddha mengajarkan bahwa keyakinan bukan dimulai dari
kepercayaan berdasarkan kepatuhan, melainkan berdasarkan pada pengertian atau
pemahaman. Sementara keyakinan yang timbul dari pemahaman yang benar terhadap
suatu yang diyakini membuahkan keyakinan yang tetap bertumpu pada akal sehat.
Umat Buddha menyatakan
berlindung pada Triratna namun bukan berarti menyerahkan sepenuhya nasib pada
Buddha dan beliau hanyalah sebagai penunjuk jalan..
Umat Buddha harus
mempunyai keyakinan yang penuh terhadap agama Buddha Mahayana, karena dalam
Mahayana terdapat banyak arca atau patung yang terdiri atas banyak dewa dan
Bodhsattva. Jika seseorang memiliki keyakinan yang kurang terhadap Mahayana,
maka mereka akan menganggap bahwa agama Buddha Mahayana menyembah berhala.
Padahal dibalik itu semua tentu mempunyai filosofi, yaitu manusia tidak bisa
berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain atau makhluk lain.
2. Kehendak (Cetana)
Pengertian kehendak (cetana) adalah kemauan atau niat untuk
berbuat yang baik atau yang tidak baik,. Kehendak (cetana) mempunyai peran penting dalam pelaksanaan
perbuatan baik. Kehendak menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan kehidupan
yang lebih baik dan bermanfaat. Seperti dalam sutta pitaka tertuliskan bahwa:
.... “Dalam hal ini, Samana atau Brahmana
yang mana pun, dengan melalui semangat, usaha, ketekunan, kewaspadaan, dan
pemikiran yang benar maka ia dapat memusatkan pikiranya”.
Dari sabda Buddha di atas
penulis berpendapat bahwa kehendak baik harus dijalankan dengan semangat dan
ketekunan, karena kehendak merupakan jalan awal untuk melakukan perbuatan yang
baik. Kehendak dalam melakukan ritual harus memiliki pengertian yang benar agar
muncul kehendak untuk melakukannya.
3. Objek Pemujaan
Ritual Mahayana terkenal
dengan agama Buddha yang banyak menggunakan objek pemujaan patung-patung
seperti: patung Sakyamuni Buddha, Amitabha Buddha, Baisajyaguru Buddha,
Maitreya Buddha (Buddha masa depan), Avalokitesvara Bodhisattva, Ksitigarbha
Bodhisattva, Ajaran-ajaran Buddha, para Sangha
dan para dewa. Dari objek pemujaan tersebut dianggap oleh sebagian besar
umat Buddha dapat menolongnya dari kesulitan-kesulitan.
Melakukan penghormatan
kepada Triratna berarti manusia mempunyai menyatakan berlindung kepada Buddha,
Dharma, dan Sangha. Seperti yang tercantum dalam Khuddakapatha sebagai berikut:
“...Makhuk apapun yang berkumpul di sini
baik yang dari bumi maupun dari angkasa, marilah kita menghormat Yang
Tercerahkan, Yang Telah Pergi, yang dipuja para dewa dan manusia semoga ada
keselamatan ... Marilah kita menghormat Dharma, ... Marilah kita menghormat
Sangha yang dipuja para dewa dan manusia semoga ada keselamatan .
Dalam agama Buddha ada
obyek yang dipuja maka muncul kehendak, objek itu dianggap mempunyai kekuatan atau
makna tertentu. mengenai objek pemujaan dalam Maha Parinibbana Sutta Buddha pernah mengatakan kepada Ananda
sebagai berikut:
“...Ananda, ada empat tempat bagi seorang
berbhakti seharusnya pergi berziarah, menyatakan sujudnya dengan rasa hormat.
Tempat Sang Tathagatha dilahirkan, tempat Tathagatha mencapai penerangan
sempurna yang tiada taranya, tempat Sang Tathagatha memutar Roda Dharma untuk
pertama kali, tempat Sang Tathagatha meninggal (Parinirvana)”.
Buddha
sudah mengajarkan kepada manusia untuk melakukan penghormatan terhadap
tempat-tempat sejarah atau tempat orang yang sudah berjasa kepada mereka untuk
dikunjungi sebagai tanda penghormatan.
4. Cara Ritual Mahayana
Setiap aliran agama
Buddha mempunyai cara ritual upacara yang berbeda-beda antara yang satu dengan
yang lainya. Mahayana mempunyai cara ritual yang pantas untuk kesehatan tubuh.
Karena, cara ritual upacaranya yaitu membungkukkan badan kira-kira samapai 90°,
namaskara dengan cara berdiri dan menunduk sebanyak tiga kali atau biasa yang
disebut pertobatan (aditana namaskara)
kurang lebih selama 30 menit, pradaksina (berjalan sambil memuliakan nama
Buddha atau Bodhisattva dan ini merupakan salah satu meditasi dalam Mahayana),
dan mendengarkan khotbah dari bhikkshu atau bhiksuni. Itulah yang mempengaruhi
ritual dalam Mahayana.
F.
Manfaat Melakukan Ritual Mahayana
Melakukan
perbuatan tentu memiliki manfaat yang pastinya manfaat yang baik dan berguna
seperti manfaat melakukan ritual Mahayana yang tertulis di buku tata upacara
kebkatian umum dan kebaktian uphosatadalam Dasa
Cula Mantra yaitu: Umat Buddha dengan hati yang tulus, tekun membaca sutra
dan mantra, bernamaskara, melakukan
pertobatan dan penyesalan maka akan memperoleh segala sesuatu yang menjadi
harapanya, dapat melenyapkan berbagai malapetaka yang menimpa dirinya, jika
meninggal dunia tidak akan jatuh ke alam yang menderita, mampu menghapus karma
buruk, menjadi panjang umur, meringankan penyakit parah, melindungi diri
sendiri, menghancurkan akar dari seggala halangan karma buruk, dan bisa membuat
ketenangan dalam pikiran.
Dalam Saddharmapundarika
Sutra Avalokitesvara Bodhisattva
Samantamukhaparivarta ayat 65-69 tertuliskan tentang manfaat membacakan
sutra yaitu:
“Cung cung cu e chi ti yi kui chu sen Sen lau ping se khu yi cien shi ling
mie yi cien shi ling mie. Cen kuan chingcing kuan kuang ta ce hui kuan pei kuan
ci che kuan chang yen chang can yang. Wu kou ching cing kuang hui re po cu an
nen fu cai feng huo phu ming cau se cien. Pei thi cie lei chen che yi miau ta
yin su kan lu fa yi mie chu fan nao cung yuen shi thui shan”.
Artinya:
Beraneka ragam alam penderitaan yaitu: alam neraka, alam
setan gentayangan, dan alam binatang; kelahiran, usia tua, sakit, mati dan
segala penderitaan secara bertahap dapat dilenyapkan. Renungan kebenaran dan
kesucian, dikembangkan ke arah perenungan kebijaksanaan yang maha luas,
renungan karuna dan maitri, selalu membangkitkan tekad dan hikmah yang
mengagumkan. Cahaya suci tanpa noda sinar kebijakan yang dapat menghapus
kegelapan dan menaklukan bencana angin dan api serta menerangi seluruh penjuru
dunia. Wujud karuna dan sila bagaikan halilintar yang menggetarkan dunia, makna dari cinta kasih bagaikan awan
besar yang maha gaib, mencurahkan embun segar dan hujan Dharma untuk
melenyapkan bara klesa. Pertikaian
dan persengketaan yang menimbulkan perkara dan kecemasan di medan pertempuran,
dengan mengingat kekuatan gaib sutra dan mantra maka segala permusuhan akan
segera lenyap.
Menurut pendapat Chau Ming, manfaat melakukan ritual
Mahayana, membaca sutra atau mantra, melafalkan nama Buddha dan Bodhisattva
agar umat dengan ritual sembhyang dapat mengaitkan hati dan pikirannya pada Samyak
Sambodhi dan Maitri Karuna. Pikiran dan hatinya ditujukan pada hal-hal positif
dan dengan harapan adanya ritual sembahyang tersebut mereka dapat menyelesaikan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi, misalnya; kegelisahan, ketakutan, kesukaran,
permasalahan kehidupan rumah tangga, kemiskinan serta gangguan-gangguan
lainnya. Hal itu hanya dapat dimengerti melalui jalan keyakinan dan bukan
semata-mata pemikiran filosofi.
Manfaat melakukan ritual juga dijelaskan oleh Toni Yoyo bahwa
banyak yang mengabaikan ritual rutin di vihara atau cetiya dengan beranggapan
bahwa perbuatan baiknya tidaklah besar. Pandangan kurang tepat seperti ini
harus diperbaiki dengan pengertian benar, apabila mengikuti kebkatian rutin
secara sungguh-sungguh sebenarnya telah memupuk perbuatan baik yang tidak
sedikit. Mulai dari membaca sutra, mantra, parita, berlatih meditasi,
mendengarkan Dharmadesana, berdana, melakukan pelimpahan jasa. Melakukan semua
itu akan bermanfaat jika dilakukan secara rutin, mengikuti kebatian berati
telah memupuk karma baik yang cukup dan bisa menjadi bekal untuk kehidupan yang
akan datang maupun hari berikutnya.
Dalam buku Pengetahuan Buddha Dharma dipaparkan, jika
seseorang berlindung pada Triratna maka ia tidak dapat terlahir kembali di
empat alam rendah. Hal ini ditegaskan kembali oleh Buddha dalam berbagai
khotbahnya. Bukan hanya tidak terlahir di empat alam rendah tetapi juga akan
unggul dalam kualitas terhadap para dewa lain ketika dilahirkan kembali sebagai
seorang dewa yaitu: panjang umur, penampilan fisik yang baik, fisik dan mental yang baik, persahabatan
yang baik, kekuatan dan kenikmatan dari lima indera. Buddha berkhotbah dalam
Sutta Velama bahwa seorang Buddhis yang telah menetapkan dirinya pada Triratna
akan menikmati manfaat lebih dibandingkan seorang yang membuat persembahan yang
tidak terbatas dan tidak tertandingi.
Berlindung pada Triratna merupakan gerbang awal menuju
jalan tengah yang mengarah ke pembebasan putaran kelahiran kembali, dan
merupakan keunggulan awal menjadi seorang Buddhis, berbagai manfaat yang
dijelaskan di atas menggambarkan keunggulan pada tahap menengah, dan untuk akhirnya
terbebas dari samara mewakili keunggulan akhir menjadi seorang Buddha.
Membaca sutra dan mantra dapat bermanfaat bagi diri
sendiri dan orang lain, jika dalam membaca penuh dengan keyakinan dan
ketekunan. Itulah bukti bahwa sutra dan mantra dapat menolong manusia dari
berbagai macam persoalan kehidupan, maka dari itu penulis mengkaji tentang
ritual Mahayana yang banyak membaca sutra dan mantra.