Translate

Rabu, 24 Juli 2013

Ritual Mahayan

TINJAUAN TENTANG RITUAL MAHAYANA


A.     Pengertian Ritual dan Mahayana

1.    Pengertian Ritual

Dalam kamus besar bahasa Indonesia ritual diartikan berkenaan dengan ritus (tata cara, upacara keagamaan), tindakan seremonial (Kamus besar bahasa Indonesia, 2008:1178)
Menurut Sukhawardhana bahwa dalam setiap agama ada ritual keagamaan yang dilakukan dengan berbagai tujuan. Di dalam agama Buddha yang dimaksud dengan ritual buddhis adalah semua kegiatan yang dilakukan dan berhubungan dengan peningkatan keyakinan terhadap agama Buddha. Ritual Buddhis meliputi puja bakti atau kebaktian yang biasa dilakukan setiap hari, setiap minggu atau upacara-upacara tertentu seperti pelimpahan jasa, berulang-ulang mengucapkan nama Buddha dengan sepenuh hati, pradaksina, dan sebagainya.
Menurut pendapat orang islam ritual sembahyang adalah tindakan keagamaan yang bertujuan untuk memungkinkan koneksi dengan Tuhan, dewa melalui, percakapan, permintaan, pengakuan, atau tindakan pujian kepada Tuhan. Menurut keyakinan agama yang berbeda, sembahyang bisa dilakukan individu atau masyarakat dan dilakukan di depan umum atau secara pribadi, dan melibatkan penggunaan kata-kata atau musik. Ketika bahasa yang digunakan, doa bisa berbentuk sebuah nyanyian, mantra, pernyataan resmi dari keyakinan, atau ekspresi spontan dari orang yang melakukan ritual sembahyang. Menurut kepercayaan, berbagai bentuk sembahyang seperti dalam permohonan atau ucapan syukur, penyembahan, pujian dan sebagainya, tergantung pada keyakinan doa, ibadah yang ditujukan kepada dewa, roh, atau leluhur, dengan tujuan yang berbeda, dan orang-orang berdoa untuk keuntungan mereka sendiri atau untuk kebaikan orang lain, atau dengan mencapai tujuan tertentu.
Dalam Wikipedia Sembahyang, ritual sembahyang adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja. Ritual Sembahyang dapat dilakukan secara bersama-sama atau perseorangan. Dalam beberapa tradisi agama, sembahyang dapat melibatkan nyanyian berupa hymne, tarian, pembacaan naskah agama dengan dinyanyikan atau disenandungkan, pernyataan formal kredo, atau ucapan spontan dari orang yang berdoa.

Ritual juga sering disebut dengan istilah puja bakti atau kebaktian. Dalam wacana Buddha Dharma dijelaskan tentang upacara ritual, upacara adalah rangkaian tindakan terorganisisr dengan tatanan atau atauran tertentu yang mengedepankan berbagai tanda atau simbol kebesaran yang menggunakan cara-cara ekspresif dari hubungan sosial, dengan suatu tujuan atau peristiwa penting. Sedangkan ritual adalah upacara keagamaan yang mengekspresikan iman berupa pemujaan dan kebaktian atau ibadah, dengan menggunakan sarana-sarana simbolik yang bersifat mistis. (Krishnanda Wijaya Mukti, 2003:73).
Ritual adalah teknik (cara, metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok. Wujudnya bisa berupa doa, tarian, drama, kata-kata seperti "amin" dan sebagainya. Ritual pertamanya sering bersifat sosial, kemudian menjadi ekonomis, lalu berkembang menjadi tatacara suci agama. Salah satu ritual yang paling kuno adalah ziarah. Kemudian upacara penyucian, pembersihan. Bentuk lebih modern adalah doa, bacaan bersahutan.
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai  ritual sembahyang di atas dapat penulis simpulkan bahwa, yang dimaksud dengan ritual adalah adat yang menjadi kebiasaan seperti upacara keagamaan yang mengekspresikan iman berupa pemujaan dan kebhaktian atau ibadah, dengan menggunakan sarana-sarana simbolik yang menyangkut semua kegiatan dan berhubungan dengan peningkatan keyakinan terhadap agama dan mempunyai tindakan keagamaan yang bertujuan untuk memungkinkan koneksi dengan Tuhan atau dewa melalui percakapan, permintaan, pengakuan, atau tindakan pujian kepada Tuhan. Juga suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan yang disengaja dan untuk kepentingan semua orang.
Dalam melakukan ritual pasti memiliki dampak negatif dan dampak positifnya yaitu:

a.         Dampak Negatif

Ritual cenderung untuk menjadi pengganti agama. Ini bahaya untuk agama yang cenderung berpusat pada ritual. Orang hanya mengikuti ritual tanpa tahu dan menghayati keimanan juga perkembangan kerohanian dengan baik. Ritual menjadi kebiasaan, menjadi agama tersendiri yang dapat menghambat perkembangan kerohanian. Sulit mengembangkan kerohanian dan perbaikan doktrin bila agama dipenuhi oleh ritual dan dikuasai para imam ritual. Menghambat perkembangan ilmu pengetahuan juga bisa berpotensi menolak pembaruan dan kebenaran. Dampak negatif yang paling berbahaya ketika suatu ritual agama dijadikan alat untuk berperang, biasanya ini dilakukan oleh mereka yang hanya sekedar mempelajari agama secara formal saja tidak mendalami secara detail. Oleh sebab itu beragama bukan untuk berperang mengatasnamakan agama, melainkan berperang melawan perbuatan buruk yang ada didalam diri masing-masing.

b.        Dampak Positif

Ritual dapat mempengaruhi stabilisasi peradaban. Misalnya di bangsa-bangsa yang memeluk agama terlihat lebih stabil dengan adanya keseragaman ritual dan dapat meningkatankan jenis budaya tertentu juga dapat  membantu pengendalian diri manusia.

2.    Pengertian Mahayana

Dalam Wikipedia Mahayana pengertian Mahayana yaitu  berasal dari bahasa Sanskerta, Mahāyāna yang secara harafiah berarti Kendaraan Besar adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha
Menurut Bhiksu Dutavira pengertian Mahayana adalah Maha: berarti besar, luas, agung, dan Yana: berarti kendaraan atau kereta. Mahayana berarti kendaraan besar yang mengangkut pengemudi bersama penumpangnya mencapai suatu tempat tujuan yang sama. Ajaran Buddha membimbing penganut-Nya seperti sebuah kendaraan besar yang mengangkut pengemudinya bersama-sama para penumpangnya mencapai tempat tujuan yang sama yaitu Nirvana.
Menururt pendapat Jo Priatana selain pengertian Mahayana juga mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) mempergunakan bahasa sansekerta; lebih bersifat religi, metafisis dan filosofi; (2) pencapaian nirvana melalui pengetauan sempurna; (3) setiap makhluk memiliki sifat kebuddhaan yang berasal dari Tathagata-Garbha; (4) Dukkha yang merupan suatu ciri dari kehidupan hanyalah bersifat maya, ilusi atau suatu konstruksi kessadaran yang keliru; (5) yang absolut dinyatalkan bukan semata-mata bersifat transenden, atau terpissah sama sekali dari realitas dunia, melainkan juga bersifat imanen, atau bersemayam dalam realitasdunia dan terungkap dalam dnuia fenomena; (6) pembebasan tidak hanya tercapai dengan usaha sendiri melainkan juga melalui bantuan atau kekuatan lainya.
Berdasarkan ulasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa, pengertian Mahayana adalah Kendaraan besar yang mengangkut banyak orang menuju suatu tempat yang sama. Menolong manusia untuk bebas dari penderitaan dan mecapai kebahagiaan.

B.     Jenis-jenis Ritual Mahayana

Di Dalam sejarah Mahayana diketemukan Upaya Kausalya untuk menjalankan ajaran Buddha, dapat diterapkan oleh umat awam yakni melakukan ritual sembahyang kepada para Buddha dan Bodhisattva. Karena ritual merupakan cara yang paling mudah diterima banyak umat dalam mempraktikkan ajaran Buddha.
Ritual upacara agama Buddha tradisi Mahayana diantaranya terdiri atas:

1.    Ritual Hari Waisak dengan Memandikan Patung Sidharta Kecil

Waisak merupakan hari besar untuk mengenang kembali tiga peristiwa penting dalam perjalanan hidup Buddha yaitu: (1) Memperingati hari kelahiran seorang Mahabodhisattva yang terlahir dari surga Tusita dan dilahirkan dalam keluarga Suku Sakya di kerajaan Kapilavastu, (2) Memperingati hari pencapaian sempurna seorang manusia menjadi Buddha melalui proses pemusatan semua kekotoran batin dan memahami hakekat kehidupan, (3) Memperingati hari Maha Parinibbana Buddha di bawah dua pohon sala kembar.
Menurut Bhikkshu Dutavira waisak sangat bermakna jika umat Buddha bersedia merenungkan kembali ajaran Buddha. Menjadikan hari raya waisak sebagai sarana untuk introspeksi diri, melihat segala perbuatan sendiri, mengembangkan perbuatan baik, dan mengurangi perbuatan yang tercela bahkan dihentikan. Hingga semangat waisak bisa membawa perubahan terhadap semua aspek diri dan kehidupan manusia.
Dalam buku yang sama juga dijelaskan oleh Bhikkhu Pabhakaro Thera bahwa tiga peristiwa itu memberikan gambaran kepada umat Buddha bahwa begitulah proses kehidupan. Dalam kehidupan manusia mengalami berbagai macam hal seperti kegagalan, ketegangan mental, keputusasaan, kejenuhan dan lain sebagainya yang memaksa manusia untuk terbebas dari kondisi tersebut dan menggantinya dengan konsep-konsep kebahagiaan dengan ukuran yang berbeda-beda. Keindahan jasmani, pemuasan nafsu, pencarian tempat-tempat hiburan, penumpukan materi dan lain sebagainya yang tidak dapat disebutkan keseluruhan menjadi obsesi umat manusia dalam beruaha mencari kebahagiaanya.
Upacara hari raya waisak umat Buddha Mahayana berbeda dengan umat Buddha yang lainya seperti memandikan rupang Buddha waktu lahir menggunakan air yang dicampur dengan madu dan bunga. Pemandian ini bertujuan menghilangkan kotoran air tuban (kotoran bawaan manusia). Usai Buddha kecil dimandikan, Dewa Bumi menyambutnya dengan melapisi kaki Buddha dengan bunga teratai. Bunga teratai tersebut diharapkan dapat mencegah kaki Buddha kecil dari kotoran bumi.
Adapun makna filosofis dari semua itu adalah manusia harus bersahabat dengan alam, Manusia seharusnya pergi ke tempat yang baik agar jangan kotor oleh lingkungan. Pemandian Buddha rupang memiliki makna menyatukan diri dalam kesucian Buddha dengan harapan semoga kotoran batin lenyap dari diri seseorang,


2.    Ritual Hari Bhaisajyaguru Buddha

Buddha Penyembuhan adalah salah satu dari ketiga Buddha utama dalam objek pemujaan Mahayana dan merupakan seorang Buddha dari masa lalu. Menurut Maha Bhikkshu Dutavita, Selain menyembuhkan penyakit, melindungi dari bencana seperti kelaparan, kekeringan dan wabah, memberikan panjang umur dan membantu yang meninggal. Buddha dikenal telah memberikan berbagai manfaat duniawi kepada mereka yang bersujud kepada-Nya. Di dalam Vihara Buddha, rupang-Nya bersanding dengan Buddha Sakyamuni dan Buddha Amitabha sebagai tiga serangkai (Sakyamuni di tengah, Bhaisajya di sebelah kanan-Nya dan Ami­tabha di sebelah kiri-Nya). Bila digambarkan sendiri, Beliau memegang simbol-Nya (mangkok berisi obat atau pagoda) dengan tangan kiri-Nya dan biasanya diikuti oleh kedua siswa-Nya yaitu Bodhisattva Cahaya Surya dan Bodhisattva Cahaya Rembulan,

3.    Ritual Ulambana

Pada bulan 7 perhitungan di Vihara-vihara Agama Buddha Mahayana selalu diadakan upacara perayaan ulambana, yang dikenal dengan istilah sembahyang Cioko (Hok Kian), Cautu (Mandarin), atau yang dikenal juga dengan istilah sembahyang rebutan bagi kaum peranakan.
Di dalam Khuddakapatha mengenai penghormatan terhadap para mahkluk dijelaskan sebagai berikut:

“Di luar dinding mereka berdiri dan menunggu, juga di perempatan serta persimpangan jalan, kembali ke rumah mereka yang dahulu, mereka menunggu di samping tiang gerbang... Biarlah ini untuk sanak saudaraku. Semoga mereka berbahagia. Makhluk halus dari sanak saudara yang telah meninggal yang datang dan berkumpl di sana dengan senang hati akan memberikan berkah atas makanan dan minuman yang lezat ini. Semoga sanak saudara kita berumur pa//njang, oleh karena merekalah kita memperoleh semua ini”


Ritual upacara ulambana merupakan bentuk pertolongan kepada leluhur seperti sabda Buddha kepada Maha Mogalana mengenai ibundanya yang terlahir menjadi setan kelaparan sebagai berikut:

“Pada saat itu kamu bisa mengambil kesempatan untuk mengadakan suatu upacara berdana makanan kepada para orang suci, yakni upacara ulambana namanya. Dan gunanya khusus untuk menyelamatkan orangtua si pemuja baik mereka yang masih hidup maupun yang telah meninggal atau yang sedang tertimpa malapetaka. Demikian pula untuk orang tua sebanyak tujuh turunan yang hidup pada masa silam dan berada di alam semesta, dimana mereka belum mendapat kesempatan untuk membebaskan dirinya, juga dapat diselamatkan”.


Pemujaan terhadap para makhluk suci merupakan perbuatan kebajikan. ritual upacara ulambana adalah bukti bahwa setelah manusia meninggal dunia masih ada kehidupan selanjutnya. Berbakti kepada orang tua tidak harus dilakukan semasa masih hidup, tetapi setelah mati pun bisa dilakukan yaitu pada waktu upacara ulambana.
Upacara Ulambana biasanya diadakan mulai tanggal 15 bulan 7 sistem penanggalan lunar sampai akhir bulan 7 tersebut. Puncak penutupan upacara jatuh pada tanggal 29 atau 30 bulan ke 7. Dalam melaksanakan hari ulambana tentu mempunyai makna yaitu:
a.    Membalas budi kepada almarhum atau almarhumah.
b.    Memberi sedekah, memberi makan, dan membalas budi kepada orang tua serta leluhur yang telah meninggal dunia.
c.    Menjalankan cinta kasih dan kasihsayang Buddha untuk menolong para makhluk.
d.    Mengundang arya sangha atau para Suhu untuk membacakan kitab suci pengampunan dosa dan ayat-ayat kitab suci agar semua makhluk yang berjodoh dapat tumimbal lahir di alam yang lebih
e.    Memberikan dana puja.
f.      Memberikan sedekah kepada fakir miskin.

Oleh karena semangat dari Ulambana adalah menolong para makhluk yang sengsaramaka dikemudian hari oleh para sesepuh Bhiksu Sangha Mahayana dikembangkan dengan mengan­jurkan para umat yang mampu untuk memberikan sedekah (Dana paramita) kepada fakir miskin, sehinggasampai saat sekarang terlihatlah saat tiba bulan 7 para umat menyisihkan uangnya untuk memberikan sumbangan beras, sandang pangan lainnya yang kemudian disalurkan oleh para pengurus vihara kepada fakir miskin dan anak yatim piatu.

4.    Ritual Hari Uposatha

Hari Uposatha adalah hari suci umat Buddha seluruh dunia, mereka diwajibkan mempraktikkan sila, melaksanakan meditasi, mendengarkan khotbah Dharma dan melakukan macam-macam kegiatan keagamaan, yang akan memberikan berkah kebahagiaan dan meningkatkan rasa bakti. Kata Uposatha sebagai petunjuk permulaan dari empat tahap bulan terbit dan tenggelam.
Sejak zaman dulu umat Buddha memanfaatkan hari-hari uposatha itu untuk macam-macam upacara keagamaan. Pada tanggal 1 dan 15 tengah bulan, mereka mengadakan kegiatan bernuansa agama, dan anggota Sangha membabarkan Dharma. Bhikkhu Sangha juga memanfaatkan uposatha untuk membacakan peraturan kebhikuan.
Menurut Dharmasagaro Mahastavira, Waktu kebaktian atau sembahyang biasanya dilakukan pada hari uposatha, yakni pada tanggal 1 dan tanggal 15. Ritual pada hari uposatha dilakukan sejak masa Buddha masih hidup. Selain tanggal tersebut di atas, tanggal 8, 22, 23 atau 30 meurut lunar kalender juga merupakan hari uposatha, terutama bagi mereka yang menjalankan Asthanga Sila. Pada hari uposatha umat biasanya pantang makan makanan yang beraasal dar makhluk hidup.
Di dalam Sadharmapundarika Sutra mengenai uposatha tertuliskan bahwa:

“jika ada manusia yang menerima, memegang dan melafal nama Kwan Se In Po Shat di dalam waktu-waktu tertentu, menghormat bernamaskara dan memberikan puja, dua perbuatan ini dapat menambah keberuntungan di dalam kehidupan manusia. Dengan kesujudan yang dilakukanya ini, akan mendapat ratusan tahun, berkali-kali tumimbal lahir dapat menghasilkan pahala yang tiada batasnya....”


Menurut pendapat Gimin Edi Susanto, pada hari Uposatha umat Buddha melaksanakan upacara dengan menjalankan delapan sila satu hari yaitu: (1) tidak melakukan pembunuhan, (2) menghindari pencurian, (3) tidak melakukan hubungan sek, (4) tidak berdusta, (5) menghindari perbuatan minum-minuman keras, 6 tidak makan setelah tengah hari, (7) tidak menari, menyanyi, dan tidak mendengarkan musik, (8) tidak menggunakan perhiasan mewah.

5.    Ritual Ulang Tahun Dewi Kwan Im

Kelahiran Dewi Kwan Im jatuh pada hari she jit, 18-18 ji-gwee. Perayaan dilaksanakan untuk menyambut hari ulang tahun Dewi Kwan Im. Inti perayaan dilakukan dengan pembacaan parita-parita (doa), dipimpin oleh para bhiksu atau romo. Pada rangkaian pembacaan Sutra Mantra juga dimohonkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar bangsa dan negara selalu berada dalam kesejahtaraan, aman, dan damai. Berbagai jenis sesaji telah dipersiapkan di atas altar persembahan, seperti buah-buahan, roti, nasi, gula, teh dan sebagainya.
Dewi Kwan Im dilahirkan pada jaman Kerajaan Ciu Cian Kok pada tahun 403-221 SM. Dalam kepercayaan Buddhisme yang berkembang pesat di Cina, diyakini bahwa segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan mengabulkan permintaan tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan dengan bahaya, Sehingga dalam kurun ribuan tahun, pengabdian moral dari Dewi Kwan Im dikenal gaib berporos empat jalan kebenaran Yakni; pengembangan kebajikan, pengembangan toleransi dan saling hormat menghormati, pengendalian batin dan mawas diri, serta menghindarkan dari marabahaya.


6.    Ritual Upacara Paramita Kebijaksanaan (Cin Kang Cing)

Paramita kebijaksanaan adalah khotbah Buddha kepada Subhuti mengenai kebijaksanaan luar biasa yang didapat dari membaca, melafalkan, menyalin, dan menjelaskan isinya. Ritual ini dilakukan setia satu minggu satu kali, oleh umat Buddha Mahayana pada khususnya. Di dalam Vajracchedika Prajnaparamita Sutra tertuliskan bahwa:
“Subhuti, seorang laki-laki atau wanita bajik, di waktu pagi boleh mengorbankan tubuhnya untuk perbuatan amal bakti berkali-kali sebanyak butir-butir pasir di sungai gangga, dan kemudian di waktu siang melakukan hal yang sama dengan demikian selama jutaan kalpa yang tak terhitung. Tetapi jika seseorang lainya mendengar sutra ini dan mempercayainya dengan sepenuh hati, maka pahalanya akan melampaui orang yang pertama”.


Buddha mengajarkan untuk selalu berbuat baik dalam segala bentuk, agara dalam kehidupan berikutnya dapat terlahir di alam yang lebih bahagia. Mengulang sutra-sutra Buddha merupakan berkah dan akan mendapatkan pahala sesuai dengan amal kebajikanya.

7.    Ritual Penyesalan dan Pertobatan

Kehidupan manusia yang semakin ditentukan oleh teknologi ini membuat moral semakin merosot dan banyak perbuatan buruk yang dilakukan. Mahayana mempunyai jalan tengah dalam menghadapi moral manusia yang semakin merosot ini yaitu dengan penyesalan dan pertobatan seperti dalam Ikrar Samanthabadra yang keempat yaitu sebagai berikut:

“... Sang Bodhisattva merenungkan, semenjak kalpa yang tek berawal di masa lalu, aku telah menciptakan segala karma buruk yang tak terhitung dan tak terhingga banyaknya melalui badan, mulut, dan pikiranku, yang disebabkan leh keserakahan, kebencian, dan keidaktahuan. Jika karma buruk ini mempunyai isi dan wujud, semua ruang angkasa tidak dapat memuatnya. Aku sekarang memurnikan ke-3 karma ini sama sekali, dan dihadapan persamuan semua Buddha dan Bodhisattva, diseluruh alam Dharma di tanah yang banyaknya bagaikan titik debu, dengan sungguh-sungguha aku menyesal dan bertobat atas kesalahanku dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Aku akan berdiam di dalam segala pahala dan kebajikan dari mempertahankan sila murni".


Menurut Bhikkshu Dutavira semua karma buruk yang diperbuat oleh si pembuat karma yang berasal dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan) yang dilakukan dengan badan jasmani, kata-kata, dan pikiran semua harus menyesali dan bertekat untuk bertobat, di hadapan Buddha, di hadapan Bodhisattva menyatakan penyesalan dan bertobat.
Bodhisattva memberikan contoh kepada manusia untuk menyesal dan bertobat atas perbuatan buruk yang sudah dilakukan, baik di kehidupan masa lampau maupun kehidupan sekarang, berjanji tidak akan mengulangi perbuatan buruk lagi.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai jenis-jenis ritual yaitu dalam setiap ritual upacara mempunyai cara, dan waktu yang berbeda-beda, dalam setiap cara yang dilakukan tentu menggunakan objek yang berbeda atau sarana sebagai simbol keluhuran-Nya. Banyakya Sutra atau Mantra dalam Mahayana juga mempunyai makna dan cara baca yang berbeda pula.
Dari jenis-jenis ritual di atas, diharapkan para umat Buddha mampu mengikuti dan melaksanakan ritual dengan ketulusan hati dan juga mempunyai pengertian yang benar. Pengertian atau pandangan benar sangat penting dalam ritual Mahayana, karena manusia akan menjalankan ritual dengan penuh perhatian dalam setiap ritual-ritual tertentu di atas.

C.  Sarana dalam Ritual Mahayana

Dalam melakukan ritual atau upacara dalam Mahayana mempunyai beberapa persembahan sebagai berikut: (1) Dupa dipersembahkan kepada Buddha dan Bodhisattva sebagai pernyataan sifat ketulusan, kesucian, kebesaran Buddha dan Bodhisattva yang membimbing umat ke arah kemajuan, ketentraman dan kebijaksanaan. Dupa juga melambangkan simbol keharuman nama seseorang; (2) Bunga sebagai lambang dari ketidakkekalan kehidupan yang selau berubah, Tumbuh, mekar, layu dan lenyap begitu juga dengan kehidupan ini, selalu muncul berlangung dan padam; (3) Lilin atau penerangan lampu dipersembahkan di hadapan Buddha dan dibacakan mantra dan sutra oleh Arya Sangha atau umat Buddha, yang melambangkan dari cahaya atau penerangan batin yang akan melenyapkan kegelapan batin dan mengusir ketidaktahuan; (4) Air putih melambangkan kerendahan hati. Dikatakan demikian karena air selalu mencari tempat yang lebih rendah; (5) Buah-buahan segar yang dipersembahkan merupakan tekad mengabdi diri kepada semua makhluk dan membagi hasil pahala kepada orang lain; (6) Daun teh melambangkan kekuatan pribadi untuk menghadapi gangguan-gangguan luar yang jahat, dan menimbulkan getaran suci atau menambah getaran yang baik di altar; (7) Mustika merupakan pernyataan kebenaran sunyata tiada duanya yaitu Buddha Dhrma; (8) Mutiara dari dalam lautan merupakan lambang penerangan yang abadi dan merupakan ajaran Buddha tiada duanya; (9) Pakaian yang diberikan di hadapan Buddha dan Bodhisattva mempunyai simbol perlindungan dari ajaran Buddha, dapat juga diartikan yang dipuja akan memberikan perlindungan kepadanya.
Dari pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa sarana ritual merupakan penghayatan ajaran Buddha dan menghormati orang yang telah menunjukan jalan untuk bebas dari samsara maka yang harus dimulai dari menghormat dan sembahyang, memuji kemuliaan Buddha, bertekad memperoleh kegembiraan hidup, instropeksi diri dan samadhi. Di dalam melaksanakan ajaran Buddha dan membagi keberuntungan kepada semua makhluk dan berbuat baik membagikan kebahagiaan kita kepada makhluk lainnya.

D.  Alat-alat dalam Ritual Mahayana

Dalam pelaksanaan ritual Mahayana tentu mempunyai alat-alat yang mayoritas umat Buddha kurang memahami kegunaanya, alat-alat juga tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan ritual, karena itu merupakan salah satu bagian dari ritual, alat ritual itu berupa: (1)Tambur adalah sebagai alat dalam memimpin kebaktian yang berfungsi untuk menentukan cepat atau lambatnya pujian dan dapat membangkitkan semangat orang dalam memuliakan nama Buddha atau Bodhisattva; (2) Gong digunakan sebagai aba-aba dan digunakan sebagai pembangkit semangat orang yang sedang membacakan Sutra atau Mantra; (3) Im Keng adalah alat yang digunakan sebagai aba-aba untuk wensin dan namaskara juga untuk membangungkan orang yang sedang meditasi, karena bunyi Im Keng yang jernih dapat mempengaruhi syaraf manusia; (4) Muk Ie merupakan alat untuk membaca mantra  dan sutra dan mempunyai maksud tersendiri yaitu menyuruh umat agar membaca dalam bentuk meditasi mengarahkan dan melatih pikiran. Mu Ie juga mempunyai bentuk dan makna sendiri yaitu berbentuk kepala ikan yang mempunyai makna untuk mengingatkan manusia, bahwa pikiran tidak pernah diam atau berhenti bagaikan ikan yang tidak pernah diam; (5) Tan Ce dan He Ce, kedua alat ini berfungsi sebagai pelengkap dalam ritual, karena dipercaya bahwa setiap bunyi yang dihasilkan oleh semua alat-alat ritual ini dapat menimbulkan getaran ke alam gaib. Tan Ce mempunyai filsafat manusia harus melihat dirinya sendiri dan memperbaiki setiap kekurangan yang dilakukan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. He Ce mempunyai filsafat yaitu manusia harus selalu akur agar terciptanya atau kesatuan yang harmonis; (6) Bel biasanya alat ini digunakan oleh para Bhiksu dalam ritual keagamaan atau di dalam kebaktian. Bel bisa berfungsi untuk menggantikan gong, im keng, dan mu ie.
Dari pendapat di atas dapat penulis rangkum yaitu alat-alat ritual Mahayana sebagai pembangkit semangat dan melatih konsentrasi untuk meningkatkan perhatian terhadap pikiran. Alat-alat dalam ritual juga mempengaruhi kesakralan dalam ritual jika menggunakanya penuh dengan konsentrasi dan perhatian.

E.     Faktor-faktor yang mempengaruhi Ritual Mahayana

1.    Keyakinan (sadha)

Mempunyai keyakinan terhadap Triratna berarti berlindung terhadap Buddha, Dharma dan Sangha, seperti yang terdapat dalam Itivuttaka yaitu:

... “mereka yang mempunyai keyakinan terhadap Sang Buddha berarti memiliki keyakinan terhadap yang tertinggi, dan bagi mereka yang memiliki keyainan terhadap yang tertinggi, hasilnya pun terbaik...
...mereka yang mempunyai keyakinan terhadap Dharma tentang ketidakmelekatan berarti memiliki keyainan terhadap yang tertinggi...
...mereka yang memiliki keyakinan terhadap Sangha berarti memiliki keyakinan yang tertinggi”.


Keyakinan adalah faktor yang penting dalam ritual, karena tanpa adanya keyakinan  kemungkinan besar manusia kurang melakukan ritual Mahayana. Keyakinan yang kuat terhadap Mahayana adalah bukti dari pemahaman yang benar. Buddha mengajarkan bahwa keyakinan bukan dimulai dari kepercayaan berdasarkan kepatuhan, melainkan berdasarkan pada pengertian atau pemahaman. Sementara keyakinan yang timbul dari pemahaman yang benar terhadap suatu yang diyakini membuahkan keyakinan yang tetap bertumpu pada akal sehat.
Umat Buddha menyatakan berlindung pada Triratna namun bukan berarti menyerahkan sepenuhya nasib pada Buddha dan beliau hanyalah sebagai penunjuk jalan..
Umat Buddha harus mempunyai keyakinan yang penuh terhadap agama Buddha Mahayana, karena dalam Mahayana terdapat banyak arca atau patung yang terdiri atas banyak dewa dan Bodhsattva. Jika seseorang memiliki keyakinan yang kurang terhadap Mahayana, maka mereka akan menganggap bahwa agama Buddha Mahayana menyembah berhala. Padahal dibalik itu semua tentu mempunyai filosofi, yaitu manusia tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain atau makhluk lain.

2.    Kehendak (Cetana)

Pengertian kehendak (cetana) adalah kemauan atau niat untuk berbuat yang baik atau yang tidak baik,. Kehendak (cetana) mempunyai peran penting dalam pelaksanaan perbuatan baik. Kehendak menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat. Seperti dalam sutta pitaka tertuliskan bahwa:

.... “Dalam hal ini, Samana atau Brahmana yang mana pun, dengan melalui semangat, usaha, ketekunan, kewaspadaan, dan pemikiran yang benar maka ia dapat memusatkan pikiranya”.


Dari sabda Buddha di atas penulis berpendapat bahwa kehendak baik harus dijalankan dengan semangat dan ketekunan, karena kehendak merupakan jalan awal untuk melakukan perbuatan yang baik. Kehendak dalam melakukan ritual harus memiliki pengertian yang benar agar muncul kehendak untuk melakukannya.

3.    Objek Pemujaan

Ritual Mahayana terkenal dengan agama Buddha yang banyak menggunakan objek pemujaan patung-patung seperti: patung Sakyamuni Buddha, Amitabha Buddha, Baisajyaguru Buddha, Maitreya Buddha (Buddha masa depan), Avalokitesvara Bodhisattva, Ksitigarbha Bodhisattva, Ajaran-ajaran Buddha, para Sangha  dan para dewa. Dari objek pemujaan tersebut dianggap oleh sebagian besar umat Buddha dapat menolongnya dari kesulitan-kesulitan.
Melakukan penghormatan kepada Triratna berarti manusia mempunyai menyatakan berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Seperti yang tercantum dalam Khuddakapatha sebagai berikut:

“...Makhuk apapun yang berkumpul di sini baik yang dari bumi maupun dari angkasa, marilah kita menghormat Yang Tercerahkan, Yang Telah Pergi, yang dipuja para dewa dan manusia semoga ada keselamatan ... Marilah kita menghormat Dharma, ... Marilah kita menghormat Sangha yang dipuja para dewa dan manusia semoga ada keselamatan .

Dalam agama Buddha ada obyek yang dipuja maka muncul kehendak, objek itu dianggap mempunyai kekuatan atau makna tertentu. mengenai objek pemujaan dalam Maha Parinibbana Sutta Buddha pernah mengatakan kepada Ananda sebagai berikut:

“...Ananda, ada empat tempat bagi seorang berbhakti seharusnya pergi berziarah, menyatakan sujudnya dengan rasa hormat. Tempat Sang Tathagatha dilahirkan, tempat Tathagatha mencapai penerangan sempurna yang tiada taranya, tempat Sang Tathagatha memutar Roda Dharma untuk pertama kali, tempat Sang Tathagatha meninggal (Parinirvana)”.


Buddha sudah mengajarkan kepada manusia untuk melakukan penghormatan terhadap tempat-tempat sejarah atau tempat orang yang sudah berjasa kepada mereka untuk dikunjungi sebagai tanda penghormatan.

4.    Cara Ritual Mahayana

Setiap aliran agama Buddha mempunyai cara ritual upacara yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainya. Mahayana mempunyai cara ritual yang pantas untuk kesehatan tubuh. Karena, cara ritual upacaranya yaitu membungkukkan badan kira-kira samapai 90°, namaskara dengan cara berdiri dan menunduk sebanyak tiga kali atau biasa yang disebut pertobatan (aditana namaskara) kurang lebih selama 30 menit, pradaksina (berjalan sambil memuliakan nama Buddha atau Bodhisattva dan ini merupakan salah satu meditasi dalam Mahayana), dan mendengarkan khotbah dari bhikkshu atau bhiksuni. Itulah yang mempengaruhi ritual dalam Mahayana.

F.      Manfaat Melakukan Ritual Mahayana

Melakukan perbuatan tentu memiliki manfaat yang pastinya manfaat yang baik dan berguna seperti manfaat melakukan ritual Mahayana yang tertulis di buku tata upacara kebkatian umum dan kebaktian uphosatadalam Dasa Cula Mantra yaitu: Umat Buddha dengan hati yang tulus, tekun membaca sutra dan mantra, bernamaskara,  melakukan pertobatan dan penyesalan maka akan memperoleh segala sesuatu yang menjadi harapanya, dapat melenyapkan berbagai malapetaka yang menimpa dirinya, jika meninggal dunia tidak akan jatuh ke alam yang menderita, mampu menghapus karma buruk, menjadi panjang umur, meringankan penyakit parah, melindungi diri sendiri, menghancurkan akar dari seggala halangan karma buruk, dan bisa membuat ketenangan dalam pikiran.
Dalam Saddharmapundarika Sutra Avalokitesvara Bodhisattva Samantamukhaparivarta ayat 65-69 tertuliskan tentang manfaat membacakan sutra yaitu:

“Cung cung cu e chi ti yi kui chu sen Sen lau ping se khu yi cien shi ling mie yi cien shi ling mie. Cen kuan chingcing kuan kuang ta ce hui kuan pei kuan ci che kuan chang yen chang can yang. Wu kou ching cing kuang hui re po cu an nen fu cai feng huo phu ming cau se cien. Pei thi cie lei chen che yi miau ta yin su kan lu fa yi mie chu fan nao cung yuen shi thui shan”.
Artinya:
Beraneka ragam alam penderitaan yaitu: alam neraka, alam setan gentayangan, dan alam binatang; kelahiran, usia tua, sakit, mati dan segala penderitaan secara bertahap dapat dilenyapkan. Renungan kebenaran dan kesucian, dikembangkan ke arah perenungan kebijaksanaan yang maha luas, renungan karuna dan maitri, selalu membangkitkan tekad dan hikmah yang mengagumkan. Cahaya suci tanpa noda sinar kebijakan yang dapat menghapus kegelapan dan menaklukan bencana angin dan api serta menerangi seluruh penjuru dunia. Wujud karuna dan sila bagaikan halilintar yang menggetarkan  dunia, makna dari cinta kasih bagaikan awan besar yang maha gaib, mencurahkan embun segar dan hujan Dharma untuk melenyapkan bara klesa. Pertikaian dan persengketaan yang menimbulkan perkara dan kecemasan di medan pertempuran, dengan mengingat kekuatan gaib sutra dan mantra maka segala permusuhan akan segera lenyap.

Menurut pendapat Chau Ming, manfaat melakukan ritual Mahayana, membaca sutra atau mantra, melafalkan nama Buddha dan Bodhisattva agar umat dengan ritual sembhyang dapat mengaitkan hati dan pikirannya pada Samyak Sambodhi dan Maitri Karuna. Pikiran dan hatinya ditujukan pada hal-hal positif dan dengan harapan adanya ritual sembahyang tersebut mereka dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi, misalnya; kegelisahan, ketakutan, kesukaran, permasalahan kehidupan rumah tangga, kemiskinan serta gangguan-gangguan lainnya. Hal itu hanya dapat dimengerti melalui jalan keyakinan dan bukan semata-mata pemikiran filosofi.
Manfaat melakukan ritual juga dijelaskan oleh Toni Yoyo bahwa banyak yang mengabaikan ritual rutin di vihara atau cetiya dengan beranggapan bahwa perbuatan baiknya tidaklah besar. Pandangan kurang tepat seperti ini harus diperbaiki dengan pengertian benar, apabila mengikuti kebkatian rutin secara sungguh-sungguh sebenarnya telah memupuk perbuatan baik yang tidak sedikit. Mulai dari membaca sutra, mantra, parita, berlatih meditasi, mendengarkan Dharmadesana, berdana, melakukan pelimpahan jasa. Melakukan semua itu akan bermanfaat jika dilakukan secara rutin, mengikuti kebatian berati telah memupuk karma baik yang cukup dan bisa menjadi bekal untuk kehidupan yang akan datang maupun hari berikutnya.
Dalam buku Pengetahuan Buddha Dharma dipaparkan, jika seseorang berlindung pada Triratna maka ia tidak dapat terlahir kembali di empat alam rendah. Hal ini ditegaskan kembali oleh Buddha dalam berbagai khotbahnya. Bukan hanya tidak terlahir di empat alam rendah tetapi juga akan unggul dalam kualitas terhadap para dewa lain ketika dilahirkan kembali sebagai seorang dewa yaitu: panjang umur, penampilan fisik yang  baik, fisik dan mental yang baik, persahabatan yang baik, kekuatan dan kenikmatan dari lima indera. Buddha berkhotbah dalam Sutta Velama bahwa seorang Buddhis yang telah menetapkan dirinya pada Triratna akan menikmati manfaat lebih dibandingkan seorang yang membuat persembahan yang tidak terbatas dan tidak tertandingi.
Berlindung pada Triratna merupakan gerbang awal menuju jalan tengah yang mengarah ke pembebasan putaran kelahiran kembali, dan merupakan keunggulan awal menjadi seorang Buddhis, berbagai manfaat yang dijelaskan di atas menggambarkan keunggulan pada tahap menengah, dan untuk akhirnya terbebas dari samara mewakili keunggulan akhir menjadi seorang Buddha.

Membaca sutra dan mantra dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, jika dalam membaca penuh dengan keyakinan dan ketekunan. Itulah bukti bahwa sutra dan mantra dapat menolong manusia dari berbagai macam persoalan kehidupan, maka dari itu penulis mengkaji tentang ritual Mahayana yang banyak membaca sutra dan mantra.

Sabtu, 05 Januari 2013

Mengapa Patung Buddha Mahayana Terdapat Tiga Arca


MENGAPA PATUNG BUDDHA MAHAYANA TERDAPAT TIGA ARCA


Secara filosofi telah dijelaskan bahwa Dharma yang disampaikan oleh Hyang Buddha merupakan kebenaran abolut. Karena begitu sukar untuk dimengerti oleh umat awam tentang Buddha Dharma, maka diterapkan juga upaya kausalya. Yang dimaksud dengan upaya kausalya adalah bahwa dengan cara yang mudah, diantaranya dengan bhakti puja, beranjali, namaskara maka seeorang akan dapat memahami ajaran Hyang Buddha dan menguatkan keyakinanya.
Jalan yang paling mudah ditempuh dan mudah dipahami oleh umat awam adalah melakukan bhakti puja dalam upacara. Bhakti puja di dalam Mahayana bertujuan untuk membimbing umat menuju pengertian Dharma  juga menguatkan iman umat awam dan secara metode psikologis  berfungsi sebagai sarana untuk mengurangi penderitaan dan keulitan mereka. Bhakti puja umumnya ditujukan kepada Buddha, Bhoddhisatva dan para Dewa. Obyek pemujaan terpenting Mahayana adalah obyek yang berada di Serambi Agung (altar) ada tiga arca Buddha dengan wajah yang sama dengan mudra yang berlainan dan makna yang berbeda yaitu: di sebelah kiri adalah Amitabha Buddha atau jelmaan dari Sambhogakaya (tubuh berkah, tubuh sinar yang memberikan bimbingan), di tengah Sakyamuni Buddha (Gautama Buddha) jelmaan dari Dharmakaya (tubuh halus, tubuh absolut dari para Buddha sebagai suatu yang absolut), di sebelah kanan adalah Bhaisajya Guru Buddha jelmaan dari Nirmanakaya (tubuh yang dimiliki oleh Sakyamuni pada waktu membabarkan Dharma di dunia.
Buddha bukanya tiga tetapi satu. Trikaya tidak lain merupakan aspek dari satu Buddha. Jika dipandang dari aspek yang absolut dan universal, beliau adalah Dharmakaya yang transeden; jika ditinjau dari aspek idealitas, beliau sebagai manusia dijadjikan ilahi, sebagaimana apa adanya, beliau adalah Sambhogakaya, memberi khotbah kepada para Bodhisatva untuk menolong mereka bekerja menyelamatkan makhluk-makhluk hidup; jika ditinjau dari aspek manusiawi, beliau adalah Nirmanakaya, Sakyamuni yang menyejarah, lahir di Kapilavastu, mencapai pencerahan di bawah pohon bodhi, dan merealiasi Parinirvana setelah menyelesaikan misi-Nya dalam kehidupan.
Harus diingat bahwa Sakyamuni Buddha bukanlah satu-atunya manifestasi Dharmakaya dalam wujud Buddha Nirmanakaya, karena ada banyak manifestasi Nirmanakaya, seperti halnya ada banyak sosok ideal dari Sambhogakaya, tetapi ada satu Dharmakaya Buddha yang absolut, sedangkan yang lain-lain merupakan aspek refleksi belaka.
Dalam Kayatraya,  Ananda menggunakan ceramah Buddha mengenai Trikaya “Apakah yang penuh rahmat memiliki sebuah tubuh?” Buddha menjawab “Tathagata memiliki tiga tubuh”. Jadi kita dapat melihat bahwa tiga tubuh adalah tiga aspek dari ssatu Buddha atau Tathagata. Merek itu atu dalam esensi tetapi berbeda dalam sifat dan aktivitasnya.

Nirmanakaya
Nirmanakaya adalah Buddha universal yang bermanifestasi di dunia makhluk-makhluk hidup, yang mengadaptasi dirinya dengan kondisi-kondisi duniawi, memiliki tubuh duniawi tetapi memelihara kesucian. Dia adalah representasi yang absolut di alam manusia, yang mengajar makhluk-makhluk hidup dalam rangka membebaskan mereka dari penderitaan, dan melalui pencerahan membimbing mereka menuju keselamatan. Dengan cara ini Buddha mengajar dan menghantar semua makhluk hidup melalui ajaran religius-Nya, yang jumlahnya tak terhitung seperti atom-atom. Segala dayya kasih sayang, inteligensi, dan kehendak-Nya tidak berkesudahan sampai semua makhluk dengan cara yang tepat dalam perlindunga-Nya mencapai keselamatan. Apapun sasaranya untuk penyelamatan dan apapun lingkunganya, dia akan menyesuaikan diri dengan semua kondisi secara tepat dan sukses berjuang mencapai pencerahan serta penyelamatan.
Nirmanakaya secara umum diartikan sebagai tubuh transforasi (perubahan), karena tubuh ini digunakan oleh Sakyamuni dan manusia-manusia Buddha yang lain untuk bermanifestai sebagai sosok yang memiliki karakteristik dan sifat moralitas, juga menjadi sasaran dari penyakit, penuaan, dan kematia. Manuia Buddha mengekspresikan manusia yang sempurna, suci, bujaksana, dan memiliki kekuatan. Dia memiliki semua tanda kesempurnaan secara fisik, memiliki kekuatan yang menyatau dengan keelokan, dan pikiranya adalah keutuhan dari intelegensi dan belas kasih.
Di dalam agama Buddha Hinayana, Buddha historis dihormati sebagai seorang manusia diiantara para manusia, tetapi kita melihat kecenderungan untuk mengidealisasikan beliau. Dalam Mahayana secara terbuka ada preferensi untuk Buddha yang ideal, Sambhogakaya yang berkhotbah untuk para Bodhisatva, dan Nirmanakaya yang berkhotbah untuk umat manusia yang diliputi ketidaktahuan. Tetapi meskipun Buddha Nirmanakaya mengambul bentuk sosok tubuh manusia, beliau hakikatnya sama dengan Dharmakaya, beliau sesungguhnya merupakan sebuah manifetasi dari Dharmakaya, dan keilahian ini diakui atau, sebagaimana yang lebih suka dikatakan oleh umat Buddha, beliau adalah manifestasi dari hakikat Buddha yang sejati. Tubuh Nirmnakaya yang nyata ini adalah Dharmakaya dan semua Nirmanakaya menyatu di dalam Dharmakaya.

Sambhogakaya
Nirmanakaya merupakan manfestasi yang ditujukan untuk kepentingan makhluk-makhluk yang sedikit atau banyak diliputi ketidakrahuan seperti para Srawaka, Pratyeka Buddha, dan Bodhisattva tingkat yang lebih rendah, tetapi Sambhogakaya dimanifestasikan untuk kepentingan untuk semua Bodhisattva. Sambhogakayalah yang mengkhotbahkan kebanyakan Sutra Mahayana. Hanya singon yang mengklaim bahwa ajaranya diberikan secara langsung oelh Buddha Dharmakaya.
Sambhogakaya kadangkala disebut tubuh Pahala karena ia menikmati buah dari pekerjaan spiritualnya, tetapi belakangan ia disebut tubuh kebahagiaan karena ia dinikmati oleh semua Bodhisattva. Sambhogakaya dapat dilihat leh Bodhisattva. Ia merupakan simbol kesempurnaan dan perssonifikasi kebijaksanaan transendental. Ia merupakan Buddha ynag ideal.
Tubuh Buddha ini merupakan tubuh yang bercahaya cemerlang, yang memancarkan sinar terang. Ia memiliki dua bentuk, yang pertama menyangkut kebahagiaan diri sendiri, dan yang kedua menyangkut pengajaran Bodhisattva. “tubuh menajubkan, menampakan roda Dharma, melenyapkan semua keraguan religius yang ada pada para Bodhisattva dan menyebakan mereka menikmati kebahagiaan dalam Dharma Mahayana”.
Sambhogakaya adalah ekspresi dari Dharmakaya dan berada diantara Dharmakaya dan Nirmanakaya. Bagi kebanyakan orang, Dharmakaya tidak dapat dipikirkan tetapi Sambhogakaya dapat dipikirkan. Bagi beberapa orang, Sambhogakaya mengambil bentuk Amida (Amitabha) di Tanah Sucinya, bagi orang lain, ia adalah Tuhan dalam agama Kristen, bagi yang lain lagi, ia adalah Iswara. Disatu pihak ia adalah Buddha yang diidealisasikan, dipihak lain, ia adalah Dharmakaya yang dipersonifikasikan. Ada sebagian orang yang membandingkan Sambhogakaya dengan Kristus yang dipermuliakan, tetapi agaknya ia seperti Tuhan dalam agama Kristen, dipuja karena Ketuhanan yang absolut. Amida di Tanah Sucinya dan Tuhan di Surga keduanya adalah Sambhogakaya.
Sambhogakaya adalah Buddha yang Abadi, dan banyak penganut Mahayana berpaling kepada-Nya. Mereka dihujat karena hal ini, tetapi mereka menjawab bahwa mereka leih menyukai substansi dari pada bayangan, relitas dari pada bayangan. Mereka menyatakan bahwa Sambhogakaya telah berinkarnasi di dalam Nirmanakaya, dan ketika mata kita melihat kemuliaan Buddha yang abadi, kita tidak perlu menatap ekspresi manusianya. Selama kita masih diliputi ketidaktahuan, ajaran dan contoh manusia Buddha sangat menolong kita, tetapi ketika kita melihat dengan jelas dengan mata seorang Bodhisattva, dan tidak melalui “kaca mata yang gelap”, kita melihat Buddha yang sangat cemerlang, Buddha cahaya, Buddha Kebenaran, Buddha Keabadian.

Dharmakaya
Secara umum dijelaskan bahwa Dharmakaya adalah kebenaran yang permanen, tidak berbeda, dan dapat dipahami, tetapi penjelasan yang mendetail tentangnya beragam menurut aliran-aliran agama Buddha yang berbeda. Dalam kebangkitan keyakinan, kita mebaca bahwa ia adalah kebenarann pokok. Kitab-kitab Prajnaparamita memandang Dharmakaya sebagai hasil dari Dharma, keberadaan tertinggi, Dharmakaya adalah Prajna, pengetahuan tertinggi.
Di dalam Daijogisho mengatakan bahwa Dharmakaya adalah tubuh keberadaan itu sendiri yang tidak berawal. Dalam Butsujikyo kita baca bahwa Dharmakaya adalah tubuh alami Tathagata sendiri, permanen dan  tidak berubah, haikat nyata dari setiap Buddha dan setiap makhluk. Kaum Madyamika mengartikan Dharmakayasebagai kekosongan, yang berarti, bagaimana pun, realitas yang tidak dapat, diekpresikan dengan kata-kata. Kaum Yogacara mengartikanya yang absolut.
Shingon menganggap Dharmakaya sebagai personal, yang memanifestasikan kasih sayang dan tindakan, serta menyelamatkan makhluk-makhluk dengan mengajar mereka, bukan hanya sebagai yang impersonal dan transendental. Dia bukan tidak berbentuk tetapi merupakan substansi yang riil, benar dann permanen. Dharmakaya adalah keseluruhan substansi dari alam semesta. Dharmakaya memanifestasikan dirinya di alam semesta di dalam dan melalui semua bagianya, dan manifestasi ini bekerja secara aktif dalam hukum dan kondisi. Dharmakaya adalah bagian dalam tubuh Buddha yang telah terccerahkan. Bagi orang-orang yang tidak tahu, dia tidak berbentuk, tetapi bagi orang-orang yang mengerti, Dharmakaya memiliki bentuk dan mengajarkan Dharma. Menurut agama Buddha pada umumnya, Dharmakaya itu benar-benar tidak berbentuk dan hening, tetapi hingon menekankan pencerahan tertinggi yang yang mengekspresikan dirinya secara aktif di dalam kasih sayang dan dengan demikian membentuk sebuah kepribadian sejati yang dapat  dirasakan dan diketahui orang yang tercerahkan. Mungkin dalam satu kata, realitas adalah cara yang terbaik untuk menjelaskan Dharmakaya. Dharmakaya adalah apa yang harus direalisasi oleh setiap makhluk untuk dirinya sendiri. Ia adalah tujuan para Bodhiattva dan makhluk-makhluk lain, meskipun biasanya hanya seorang Bodhiattva yang dapat diharapkan untuk merealisasinya secara penuh. Setiap makhluk memilikinya. Ia merupakan hakikat nyata dari segala sesuatu, dan berdasarkan aspeknya ini kita dapat pula menyebutnya Tathagata, Dharmadatu, Tathagatagarbha. Nirwana merupakan baitnya. “dharmakaya secara literal berati tubuh atau sosok yang bereksistensi sebagai prinsip, dan kemudia ia diartikan sebagai realitas tertinggi yang darinya segala sesuatu berasal sesuai hukumnya, tetapi dirinya sendiri mengatasi semua kondisi yang terbatas. Ia adalah apa yang ada di dalam batin dan pada hakikatnya merupakan Ke-Buddha-an.
Jika dilihat dengan cara ini, misteri dari tiga tubuh pun terpecahkan. Dalam filafat Inda kita menemukan Dharmakaya sebagai para Brahman, dan Brhaman berdasarkan aspek yang betul-betul dipertimbangkan. Sambhogakaya sama dengan Iswara, dan Nirmanakaya muncul dalam diri pemimpin besar spiritual India, atau mungkin dipandang sebagai seorang Awatara. Akan lebih jelas jika tiga tubuh diganti dengan sebutan tiga aspek dari satu Buddha: Buddha Historis, Buddha Abadi, dan Buddha Universal.

Kesimpulan
Di dalam Dharmakaya, Sakyamuni Buddha telah sepenuhnya telah merealiasikan kesatuan dan kesamaanya dengan yang absolut (Dharma Sunyata) dan persamaan.
Di dalam Sambhogakaya, hal ini merupakan manisfestasi yang konkrit bagi dirinya (Svasambhoga) dan pemilikan kekuatan (Parasambhoga) atau tubuh yang bersinar.
Di dalam Nirmanakaya, ke-Buddha-an terwujud. dalam tubuh Sakyamuni Buddha. Hal ini juga harus dimengerti oleh umat Buddha ketika memberika penghormatan di hadapan arca Buddha atau gambar Buddha. Hal itu harus dimengerti sebagai penghormatan kepada kebearan Buddha yang termanifestasi dalam Nirmanakaya.  Telah berkali-kali dikatakan agar kita hendaknya menganggap dan Buddha yang kita lihat baik yang berupa arca atau gambar sebagai Dharmakaya danjangan menganggap seperti apa yang terwujud di hadapan kita.
Jantun Mahayana terletak pada Trikaya (tiga tubuh Buddha) dan Bodhisattva, yang sejalan dengan konsep Prajna (kebijakssanaan) dan Karuna (belas kasih). Sulit untuk menjelaskan Trikaya dengan kata-kata, dan meditasi terhadap problem ini akan menyingkapkan lebih jauh daripada yang dipaparkan di atas. Tetapi untuk mengerti agama Buddha Mahayana, di erlukan pemahaman tentang konsep tiga tubuh trsebut. Ia mendasari ajaran Mahayana dan dikhotbakan dan dipandang benar dalam Sutra-sutra Mahayana. Apakah kita membaca Pundarika atau Prajna Lanka atau Avatamsaka, doktrin ini memengaruhi semua ajaran dalam Sutra-sutra besar tersebut.


Sumber:
Suzuki Lane Beatrice. 2009. Agama Buddha Mahayana. Jakarta: Karania